ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. R 29
TH G2P1A0 HAMIL 34 MINGGU
DENGAN KPD DI RSUD BALARAJA
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktik Klinik Kebidanan II
Program Studi DIII Kebidanan
Disusun Oleh:
Nama : Mayura
NIM : 11108051
Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKes) YATSI
Jl. Raya Prabu
Siliwangi (Pasar Kemis) Km. 03
Tangerang- Banten
Tahun Ajaran 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam kehamilan air ketuban
merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan janin dalam
kandungan. Kekurangan atau pun kelebihan air ketuban sangat mempengaruhi
keadaan janin. Oleh karena itu penting mengetahui keadaan air ketuban selama
kehamilan demi keselamatan janin.
Namun dalam kehamilan kadang
kala terjadi pecah ketuban sebelum waktunya atau yang sering disebut dengan
ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri
berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi sampai
sepsis yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan
infeksi ibu (sarwono 2008).
Ketuban pecah dini
didefenisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah
dini (Sarwono 2008).
Penanganan
segera pada ketuban pecah dini yaitu dengan pemberian antibiotik dan segera
lakukan induksi persalinan jika umur kehamilan sudah aterm tapi jika belum
aterm (prematur) pertahankan. Asuhan ini dilaksanakan dengan tujuan agar janin
dan ibu bisa menjalani proses persalinan dengan normal dan tanpa adanya
komplikasi. Pada proses persalinan ini membutuhkan asuhan yang optimal dan
dukungan dari semua pihak khususnya keluarga dan penolong yang terampil agar
proses persalinan berjalan dengan lancar, bayi dan ibu sehat sehingga dapat
menurunkan adanya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.
1.2.Tujuan
1.2.1.
Tujuan umum
Mahasisiwa mampu mendeskripsikan dan memberikan asuhan kebidanan pada pasien KPD, mengetahui penyebab dan tanda-tanda serta
gejala KPD.
1.2.2.
Tujuan khusus
Mahasiswa mampu:
a.
Mendefinisikan dan menjelaskan terjadinya ketuban pecah dini
b.
Mengidentifikasi pemeriksaan yang
diperlukan untuk diagnosis
c.
Mendiskusikan penanganan tepat dan cepat pada ketuban pecah dini
1.3.Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa, sehingga
dapat mengaplikasikannya dalam memberikan asuhan kebidanan pada penderita
ketuban pecah sebelum waktunya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.DEFINISI
Ketuban Pecah Dini adalah rupturnya membrane ketuban sebelum persalinan berlangsung (Manuaba,2002).
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada sembarang usia kehamilan sebelum persalinan di mulai (William,2001).
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm. (ay yeyeh, 2010).
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Prawirohardjo, 2008).
Ketuban Pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum awitan persalinan (Morgan, 2009).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan setelah ditunggu satu jam belum memulainya tanda persalinan(Manuaba, 2010).
Ketuban merupakan hal yang penting dalam kehamilan karena ketuban
memiliki fungsi seperti:
a. Untuk proteksi janin.
b. Untuk mencegah perlengketan janin dengan amnion.
c. Agar janin dapat bergerak dengan bebas.
d. Regulasi terhadap panas dan perubahan suhu.
e. Mungkin untuk menambah suplai cairan janin, dengan cara ditelan atau diminum yang kemudian dikeluarkan melalui kencing janin.
f. Meratakan tekanan intra – uterin dan membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah.
2.2.ETIOLOGI
Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti.Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui (Nugroho, 2011).
Faktor-faktor predisposisi itu antara lain adalah:
1. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008). Membran khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007). Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Anonim, 2007).
2. Riwayat ketuban pecah dini
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi (Nugroho, 2010). Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Anonim, 2007).
3. Tekanan intra uterin
Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010). Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
4. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo, 2008). Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai awitan persalinan dan pelahiran ( Morgan, 2009). Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (Morgan, 2009).
5. Paritas
Para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (Saifuddin, 2006). Paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primiparitas adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati untuk pertama kali. Multiparitas adalah wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa kali (sampai 5 kali atau lebih) (Varney, 2007).
6. Kehamilan dengan janin kembar
Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010). Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2007).
7. Usia ibu yang ≤ 20 tahun
Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010). Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap (Agil, 2007). Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan. Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya secara hati-hati (Agil, 2007). Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini (Agil, 2007).
2.3.TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, disertai dengan demam atau menggigil, bercak vagina yang banyak, denyut jantung janin bertambah cepat, juga nyeri pada perut, keadaan seperti ini dicurigai mengalami infeksi. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara (Nugroho, 2011). Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu timbul pada ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan tampak diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan lain seperti nyeri uterus, denyut jantung janin yang semakin cepat serta perdarahan pervaginam sedikit tidak selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini. Namun, harus tetap diwaspadai untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin (Varney, 2007).
2.4.PENGARUH KETUBAN PECAH DINI
1. Terhadap Janin
Walaupun ibu belum menunjukan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis,vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan mortalitas dan morbiditas perinatal.
2. Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis atau nifas, peritonitis dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala infeksi lainnya.
2.5.KOMPLIKASI KPD
Menurut Varney (2007) komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya
1. Persalinan premature
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
2. Infeksi
Resiko infeksi pada ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi konrioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia. Umumnya terjadi korioamnianitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
3. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidroamnion yang menekan tali pusathingga terdaji asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidroamnion, semakin sedikit air ketuban , janin semakin gawat.
4. Sindrom Deformitas Janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin (Prawirohardjo, 2008). Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu (Nugroho, 2011).
2.6.MEKANISME TERJADINYA KETUBAN PECAH DINI
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena selaput ketuban rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester tiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2008). Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks dan membran terkait dengan pembukaan terjadi devolarisasi dan nekrosis serta dapat diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten, makin panjang fase laten, semakin tinggi kemungkinan infeksi. Semakin muda kehamilan, makin sulit pula pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin. Oleh karena itu komplikasi ketuban pecah dini semakin meningkat (Varney, 2007).
2.7.MANIFESTASI KLINIK
1. keluar ketuban warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau / kecoklatan sedikit / banyak
2. dapat di sertai demam bila sudah ada infeksi
3. janin mudah teraba
4. pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada , air ketuban sudah kering
5. inspeksi, tampak air ketuban mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban ketuban sudah kering ( Arief Mansjoer, dkk, 2001 : 310 ).
2.8.PEMERIKSAAN KLINIS
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat.
Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1. Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluarnya cairan tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
3. Pemeriksaan dengan spekulum.
pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.
4. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam.
Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
2.9.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk melihat jumlah air ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit. namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion (Nugroho, 2011).
2.10. PENANGANAN
A. Konservatif
1. Rawat di rumah sakit
Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, curigai adanya kemungkinan solusio plasenta. Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau), berikanantibiotika sama halnya jika terjadi amnionitosis.
Jika tidak ada infeksi dan kehamilan< 37 minggu:
a. Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin
b. Ampisilin 4x 500mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250mg per oral 3x perhari selama 7 hari.
Jika usia kehamilan 32 - 37 mg, belum inpartu, tidak ada infeksi, beri dexametason, dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 mg dan sudah inpartu, tidak ada infeksi maka berikan tokolitik ,dexametason, dan induksi setelah 24 jam
B. Aktif
Kehamilan lebih dari 37 mg, induksi dengan oksitosin. Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram – 50 mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.
Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
Indikasi melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah sebagai berikut:
1. Pertimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu apakah 6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.
2. Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan pengukuran per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil pemeriksaanlaboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban.
Penatalaksanaan lanjutan :
1. Kaji suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali didahului kondisi ibu yang menggigil.
2. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan adalah tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat dengan alat pemantau janin elektronik secara kontinu dilakukan selama induksi oksitosin untuk melihat tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi. Takikardia dapat mengindikasikan infeksiuteri.
3. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.
4. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan, perhatikan juga hal-hal berikut:
a. Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa
b. Bau rabas atau cairan di sarung tangan anda
c. Warna rabas atau cairan di sarung tangan
5. Beri perhatian lebih seksama terhadap hidrasi agar dapat diperoleh gambaran jelas dari setiap infeksi yang timbul. Seringkali terjadi peningkatan suhu tubuh akibat dehidrasi.